Kuala Nerus, kataandoolo.com — Di kampus Universiti Sultan Zainal Abidin, Malaysia, angin musim panas mengantarkan sebuah gagasan yang lahir dari negeri seberang: bahwa agama dan alam tak boleh lagi berjalan sendiri-sendiri. Dalam atmosfer ilmiah East Coast Environmental Research Institute (ESERI), Institut Agama Islam (IAI) Rawa Aopa Konawe Selatan bersiap membuka babak baru — merintis program pendidikan Magister dan Doktor di bidang Lingkungan dan Keagamaan, berkolaborasi langsung dengan UniSZA.
Langkah ini bukan sekadar rutinitas akademik. Ia adalah respon nyata terhadap seruan Menteri Agama Republik Indonesia yang menekankan pentingnya integrasi antara nilai-nilai spiritual dan kepedulian ekologis. Ekoteologi, istilah yang kini menjadi relevan lebih dari sebelumnya, bukan lagi sekadar diskursus teoretis, tapi sebuah keharusan moral dan ilmiah untuk menjawab krisis zaman.
Dr. Ismail Suardi Wekke, mewakili IAI Rawa Aopa, menyebut program ini sebagai bentuk konkret dari panggilan zaman: untuk mencetak generasi yang tidak hanya mampu menafsirkan kitab, tetapi juga menafsirkan kerusakan bumi. Menurutnya, pendidikan Islam yang tidak menumbuhkan kesadaran ekologis akan tertinggal dari realitas. Ekoteologi hadir untuk menambal jarak itu — menjembatani wahyu dan fakta.
Program yang dirancang bersama UniSZA ini akan membekali mahasiswa dengan pemahaman lintas disiplin. Mereka tidak hanya akan belajar teologi lingkungan atau etika Islam dalam pengelolaan sumber daya alam, tetapi juga metodologi riset transdisipliner yang menggabungkan perspektif sains, sosial, dan spiritualitas. Kurikulum akan menyentuh berbagai isu kontemporer: dari kebijakan lingkungan berbasis agama, konservasi berbasis masyarakat, hingga pengembangan model dakwah ekologis di ruang publik.
Bagi IAI Rawa Aopa, kolaborasi ini juga merupakan langkah strategis untuk menempatkan Sulawesi Tenggara, khususnya Konawe Selatan, sebagai pionir pengembangan ekoteologi di Indonesia. Wilayah ini memiliki potensi besar sebagai laboratorium alam: dari sabana Aopa yang kaya biodiversitas, hingga kearifan lokal masyarakat pesisir dan pedalaman yang menyimpan banyak nilai etnoekologis. Semua itu akan menjadi sumber belajar yang autentik dan kontekstual bagi mahasiswa dan peneliti.
Tak berhenti pada level akademik, program ini juga ditargetkan untuk melahirkan output pengabdian masyarakat yang berdampak. Lulusan diharapkan mampu menjadi agen perubahan di berbagai sektor: menjadi dosen yang mencerahkan, peneliti yang mengadvokasi kebijakan, bahkan pemuka agama yang menyuarakan narasi pelestarian dalam ceramahnya. Mereka akan didorong untuk mengembangkan pendekatan integratif antara dakwah dan konservasi, serta menginisiasi gerakan sosial yang memperkuat kesadaran ekoteologis di tingkat akar rumput.
Ismail menyampaikan optimismenya bahwa kolaborasi ini akan menempatkan IAI Rawa Aopa dalam posisi strategis di lanskap pendidikan tinggi Islam di Asia Tenggara. Bersama UniSZA, ia ingin menghadirkan model pendidikan tinggi Islam yang tidak hanya kritis secara keilmuan, tetapi juga solutif dan kontributif terhadap persoalan global.
Inisiatif ini juga mencerminkan semangat baru dalam pendidikan Islam — yang tidak sekadar menatap langit, tetapi juga menjejak bumi. Sebab pada akhirnya, membicarakan ekoteologi bukan sekadar tentang menjaga alam, tetapi juga tentang membangun peradaban yang adil bagi seluruh makhluk.
Jika bumi bisa bersuara, mungkin ia akan mengucapkan terima kasih. Bukan karena kita telah menguasainya, tapi karena kita akhirnya mulai mendengarnya. Di Rawa Aopa, pesan itu diterima. Di UniSZA, pesan itu dijawab.
Dan dari titik inilah, jejak hijau menuju kampus langit dimulai. (*)
Editor: Edy Basri
Tidak ada komentar